Sajak Kehidupan – Seperti sebuah logika. Aku tak menampik bahwa rasa bisa berubah kapan saja. Di mana saja, bahkan mungkin bisa terjadi setiap waktu.
Aku tak ingin terlalu bertanya atau meluangkan waktu hanya untuk mengetik beberapa kata dari qwery yang menjelaskan bahwa aku ingin tau.
Rasa memang sering menjadi bungkam dalam otakku. Seperti air mengalir. Seperti langit yang indah dan seperti bintang yang bertaburan.
Masa itu. Aku berjalan di bibir pantai dengan deburan keras ombak yang dipacahkan oleh beton keras itu.
Menyisiri pantai memang bukan cara yang tepat untuk membuatku tenang masa itu.
Entah ini cerita, atau hanya sebuah kekesalan. Tapi rasa butuh waktu untuk diciptakan, dimiliki, dan untuk dinikmati.
Aku tak pernah terbuai seperti ini sebelumnya. Hanya saja, aku sendiri sedang kebingungan dengan yang terjadi pada diriku.
–o0o–
Malam ini langit hujan deras sekali. Tiap tetesan hujan seperti gemuruh badai. Keras, kokoh, dan menenangkan.
Lambaian tanganku sore itu, seperti angin lalu saja.
Tampaknya ada yang sedang berbahagia dengan sosok yang tak pernah aku kenal.
Waktu memang cepat. Bibir pantai yang ku lewati tadi sudah menjadi genangan air dengan ombak pelan yang mengumbar tanya. “Kemana ia pergi.”
Matahari sepertinya sudah waktunya berganti jadwal dengan bulan untuk tetap membuat bumi menjadi terang.
Taburan bintang justru memperelok pandang mata yang tak bersimpu pada arah apapun.
Langitnya begitu membentang, seperti udara yang menusuk. Aku masih tak peduli, bersadar di kendaraan membuatku menatapi bintang-bintang dilangit.
Aku seperti ingat sesuatu. Tapi belum tau bagaimana untuk memulai melukiskan menjadi sebuah kalimat atau ucap pikir dalam hati. Aku hanya ingin mengingatnya pelan hingga ia sulit dilupakan.
Tiba-tiba angin gemuruh. Pepohonan seakan ikut larut dalam irama gemuruhnya angin. Tampak seperti tanda ingin hujan. Tapi aku masih menerjemahkan rasa. “Aku mengabaikan rasa itu.”
Sudah bukan waktunya aku kembali ke masa yang sama untuk hati dan sifat yang sama. Rasa membuatku terlalu munafik untuk tidak aku pedulikan. Apalagi tidak aku urusi.
Ah, sudahlah. Mungkin langit yang terang tadi menegurku untuk segera pulang. Bintang juga tampak menyala-nyala seperti api. Bukan.
Mataku sedang terbakar rasa. Gemuruh angin semakin keras. Bahkan, jaket tebalku ini sudah berhasil ditembusnya. Iya, aku mengalah.
Tidak pada apapun dan siapa pun. Aku mengalah dengan rasa.
Jangan tanya aku ke mana. Aku tetap di sini menjadi rasa yang tak pernah engkau bayangkan. Meskipun langit menjadi gelap, tapi lukisanku masih tergambar rasa tentangmu.
“Lalu, sebenarnya apa yg indah dari rasa?” Aku bertanya dan pergi dari lengasnya ombak dan gelapnya malam.
Pekanbaru, 12 Februari 2015
“Tapi rasa butuh waktu untuk diciptakan, dimiliki, dan untuk dinikmati.” the best part of this post. Bener emang. Makanya saya bingung sm orang2 yg bisa bisanya jatuh cinta pada pandangan pertama. :’)
Setelah sekian lama nggak bw ke sini, saya merasa banyak yg berubah nih dari blog Pangeran.
Tapi nggak nyangka kok berubahnya jadi nyajak gini ya. Ehehehe
Template blog juga baru ya? Keliatan lebih minimalist.
Sebentar, ini tulisan lama aja udah sebagus ini ya, hehe. Kok beda banget soul-na dengan tulisan tahun-tahun setelahnya, aku suka yang ini 🙂
Pange apa kabar?
Udah lama g ngobrol sama pange, ampe udah masuk tahun 2018 aja 😁
Sajak pange seperti biasa..
Andilau dan ala melly melow. Kayaknya ini masih koleksi lama ya pange. Yang versi bahagia belum bikin nih? Atau aku ubek2 dulu blognya siapa tahu ada nyelip yang versi happy.
Jadi pernah ceritanya pernah jadi korban perasaan nih?
Ada beberapa hal yang tidak kupahami sih, yang pasti cinta itu pasti berbalut dengan kesedihan.
Tapi, Alhamdulillah ya sekarang sudah ada penyembuh lukanya… Uhuuyy…
Enggak nyangka aku ternyata Pangeran Wortel pun bisa menulis melow begini…