Sajak Romantis – Aku menarik garis pinggir senyumku membawa riuhnya waktu yang sedang berarak untuk pergi. Seraya mataku tak ingin terpejam. Meski sesaat. Tetap aku tak mampu.
Bayangmu di antara rerumputan dengan bias gelap yang tak terjamah cahaya, membuatku bertanya : “Itukah dirimu yang sebenarnya?”
Pertamakali mengumbar semerbak, engkau seperti tak terlihat kurang sedikitpun. Lalu, engkau membutakan sedemikian rupa.
Pikirku hingga tak mampu merayap ke arah yang sebenarnya ingin aku jejak.
Aku terlalu lengah dengan sikapmu yang terlalu mirip balok dingin persegi keras itu.
Tampak berbentuk, menyilau, namun engkau begitu menyengatkan pori-pori jemariku hingga aku bertanya untuk keduakalinya : “Kenapa ini terlalu dingin?”
—o0o—
Saat ini, aku tak lagi sempat menatap senja menguning jingga itu lagi. Engkau membuatku tak sempat berhenti menikmatinya untuk sejenak.
Engkau begitu remah menjamah hidupmu.
Engkau terlalu keras mengukir batuan pegunungan dalam otakmu.
Neuronku, kadang tak ingin terlalu mematah antara sel jarak dan sel penghantar. Tapi, engkau lagi-lagi mematahkan itu.
Aku mengoyak perih ini terlalu dalam. Hingga masa kenangku terlalu kelam saat hadir bersama lima jari yang merangkul erat.
Baca juga : kata-kata romantis
Andai saja aku tak pernah melihat indahnya kelopakmu bermekaran menjadi bunga sejati dengan mahkota tersusun yang berukir apik . Hingga membuatku seperti terlihat tak berfikir sesaat demi tetap menikmati indahnya paras bias dan semerbakmu.
Sayangnya, begitulah aku. Sering tak sadar saat engkau mengumbar indahnya kelopak dan mahkotamu.
Ingin sungguh aku memejamkan mata ini.
Sesaat untuk menghirup.
Sesaat untuk membayangkan.
Sesaat untuk waktu yang lama. Aku…. Ingin memilikimu kembali.
Ah, bungaku. Engkau begitu tak pantas menyandarkan di antara rerumputan lagi. Engkau juga sudah tidak pantas mengukir ucap dalam harapmu untukku.
Hanya, satu yang aku pinta. Tetaplah menjadi penghias, namun jangan engkau tampakkan duri yang pernah membuatku luka.
Pekanbaru, 14 April 2015